Agenda : 1 Juli 2012, Ahad malam Senin Pahing, Bakti Sosial Menyambut Ramadhan Yayasan Fathul Hidayah dan Pengajian Rutin Selapanan Majelis Ahbaabun Nabi bersama Kyai Nafian Ali Maliki - Karanganyar di Kediaman Ketua Yayasan, Dk. Jengglong, Ds. Waru, Kec. Kebakkramat, Kab. Karanganyar.

Minggu, 22 Januari 2012

Gus Dur dalam Pertunjukan Wayang

Seorang berpeci merah berjalan tergesa. Nafasnya terengah karena tubuhnya tambun. Ia mengenakan kaos oblong warna kuning ketat, tampak kekecilan karena perutnya buncit. Sarung coklatnya dilinting tinggi-tinggi. Hampir menyentuh dengkulnya. Ia menuju rumah Pak RT.

Di perjalanan, Karyo dicegat Kampret, pemuda kurus, berambut gondrong, berkaos oblong dan bercelana jeans. Tak lama berselang, lewat Ki Sidik yang berblangkon, berbaju lurik panjang dan bersarung batik hitam. Ketiganya terlibat dalam obrolan.
Karyo menceritakan maksudnya. Ia akan melabrak Pak RT. Bila perlu, menghajarnya. Soalnya, ia satu-satunya warga yang tidak kebagian kompor gas.


Cerita tersebut merupakan satu kemarahan rakyat kecil, dengan nasib kecil, kecele dan kere. Adegan tersebut terdapat dalam lakon Tragedi Jual-Beli Mimpi dari Wayang Kampung Sebelah besutan dalang Ki Jlitheng Suparman pada acara bertajuk Semalam Bersama Gus Dur di Student Center Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Ciputat, Tangerang, pada Jumat malam (13/1) lalu.
Menurut panitia pelaksana, Nurdiansyah, Semalam Bersama Gus Dur merupakan haul kedua KH Abdurahman Wahid, diselenggarakan berbagai organisasi mahasiswa, forum studi, dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UIN Jakarta.

Nurdiansyah berharap Semalam Bersama Gus Dur adalah malam-malam panjang untuk berefleksi dan bergerak mengikuti dan melanjutkan jejak Guru Bangsa, demi kemajuan Indonesia.
Sejak acara dimulai pukul 19.30, hujan menggerimisi Student Center. Tapi tahlil tetap dibacakan hadirin dipimpin KH Nuril Huda dan doa KH Chotibul Umam. Hujan berhenti sebentar. Acara dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, diakhiri Gugur Bunga.
Sekira pukul 20.00 Shinta Nuriyah Abdurahman Wahid hadir. Kembali gerimis turun. Ibu negara tahun 2000-2001 itu pun dinaikkan ke tribun di belakang hadirin.
Wong Zolim, pemandu acara, meminta hadirin balik kanan. Serentak ratusan orang itu berputar 180 derajat, menyimak pidato Shinta Nuriyah selama 15 menit. Disusul pidato Alissa Wahid, Adhie Massardi, Bondan Gunawan, dan AS. Laksana.

Sambil menyimak acara berlangsung, hadirin menikmati sajian dari panitia semisal kacang rebus, jagung rebus, gorengan, susu jahe dan kopi. Tampil penyanyi Ivan Nestorman, hadrah el-Kafi, Marawis Irmafa, dan Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Jakarta dan pembacaan puisi Hendri Yetus Suswono.

Pukul 22.30, saat mulai pagelaran wayang, hujan menderas. Tapi tak menyurutkan semangat ratusan penonton. Mereka mengembangkan payung, sebagian berpayung spanduk, sebagian mengendap di tribun. Ada juga yang sengaja membebaskan hujan mengguyur tubuhnya, seolah merayakan Semalam Bersama Gus Dur.
Sebelum pertunjukan, Ki Jlitheng meminta penonton mendekati pentas. Tak ayal, jarak penonton dan penabuh gamelan hampir tak ada batas. Mereka dekat.
Dekat sekali. Dan, mereka tak bisa berpaling dari layar putih yang dibingkai kain merah sebagai latar wayang. Sesekali tepuk tangan, tergelak, kadang-kadang bersorak. Mereka hanyut pada pertunjukan berdurasi 2 jam 29 menit ini. 

Ki Jlitheng, lihai menyirap penonton anak muda. Di tangannya, citra wayang sebagai kegemaran orang tua beruban, terbantahkan sudah. Citra wayang sebagai tontonan hanya orang Jawa, tak berlaku lagi. Di situ ada anak Sunda, Sumatra, Sulawesi dan Minang, Aceh, Jakarta, dan lain-lain.
Dalang asal Solo, Jawa Tengah, ini menggunakan bahasa Indonesia. Sekali dua kadang keluar bahasa Jawa, tapi persoalan ini diselesaikan dengan bertanya kepada teman asal Jawa yang langsung menerjemahkannnya.
KI Jlitheng yang berpakaian serba hitam dengan ikat kepala hitam;  tidak berblangkon, sebagaimana umumnya dalang, memang tak mampu menahan hujan, tapi penonton bisa terpacak berjam-jam. 

***
Lakon Tragedi Jual-Beli Mimpi itu kemudian menampilkan adegan berikutnya. Pak Lurah lewat di antara Karyo, Kampret dan Ki Sidik. Ia berpakaian rapi dengan rambut klimis ala Beatles. Air mukanya setenang telaga.
Ki Sidik kaget bukan main karena justru yang dicari Karyo ada di hadapan mata. Keributan bisa terjadi. Tapi kemudian dia tenang ketika Karyo justru gemetar, dagunya gemeretak laiknya orang kedinginan. Tapi setelah mengumpulkan keberanian, ia mengemukakan maksudnya.

Tapi Lurah yang bernama pak Somad itu, malah mempermainkannya. Ia merasa tugasnya sudah selesai.
Karyo marah. Ia pasang kuda-kuda. Tapi ketika ia akan menghajarnya, pesinden dan penabuh gamelan Wayang Kampung Sebelah bernyanyi syahdu. Nyanyian itu, seolah menyiram kemarahan Karyo. Klimaks kemarahannya langsung antiklimaks. Ia termenung beberapa saat. Penonton yang sebelumnya tergelak-gelak pun, kini tenang, menanti adegan berikutnya. 

Astaghfirullah robbal baroya… Astaghfirulloh minal khoothoya… Robbi zidni`ilman naafi’a… Wawaffikni`amalansoliha…
Lalu, satu anak wayang dihadirkan. Ia berkacamata, berambut rapi di sisir ke pinggir, berkemeja pendek bercalana panjang dan bersandal. Ia hadir sambil bersenandung:
Ngawiti ingsun nglaras Syiiran/Kelawan muji marang Pangeran/Kang paring rahmat lan kenikmatan/Rino wengine tanpo pitungan

Suara ini sangat akrab di telinga penonton. Ya, suara Gus Dur. Tanpa komando, tepuk tangan memenuhi Studen Center. Mereka mengikuti syair Tanpo Waton tersebut.
Duh bolo konco priyo wanito/Ojo mong ngaji Syare'at bloko/Gur pinter ndongeng, nulis lan moco/Tembe mburine bakal sengsoro

Ketika tahu yang datang itu Gus Dur, Karyo sumringah. Ia berniat meminta keadilan kepadanya. Tapi Gus Dur menjawab enteng. “Memangnya saya nyimpen keadilan? Minta keadilan kok ke saya. Saya nggak punya,” jawab Gus Dur.

Karyo kemudian bercerita bahwa ia satu-satunya warga yang tidak kebagian kompor gas. Lebih jauh, ia mengadu soal kemelaratanya yang mendarah daging. Dari lahir hingga tua. “Saya bosen dengan melarat. Tapi si melarat tak bosen-bosen dengan saya. Saya mohon petunjuknya, Gus,” jelas Karyo.
Tapi lagi-lagi Gus Dur menjawab dengan enteng. “Nggak usah kamu bingung. Kalau kamu sejak lahir sampai tua itu melarat, justru kamu jadi orang melarat yang profesional. Kamu jadi orang melarat yang ahli. Tingkatanmu itu master. Tingkatanmu itu syekh. Syekh kemelaratan. Nanti kalau ada seminar tentang kemiskinan, pasti kamu akan diundang,” jawab Gus Dur.

Lalu Karyo menanyakan perihal undang-undang dasa yang mengamanatkan bahwa fakir miskin dan orang terlantar dipelihara negara. Pemerintah mengkalim kemiskinan menurun dan berkurang. Ia semua itu jauh panggang dari api. Berarti negara sudah berkhianat.

Gus Dur menjawab dengan satir. Fakir miskin dan anak-anak yatim memang dipelihara negara. Dipelihara supaya tetap miskin dan terlantar. Kemiskinan juga telah menurun, menurun ke anak cucu. Dan orang miskin berkurang karena banyak yang bunuh diri dan ditembak mati.

Gus Dur kemudian memberikan penjelasan panjang. Menurutnya, yang terpenting sementara ini, terima dulu keadaan. Lalu konsolidasi pikiran untuk perubahan besar dan mendasar bagi Indonesia. Sebab tanpa itu, tidak mungkin negara berubah. Lalu, hanya ada dua pilihan untuk Indonesia mendatang, kepemimpinan yang kuat, atau kekuatan yang memimpin. Kalau sudah ada pemimpin yang kuat, berarti dibutuhkan kekuatan yang dipimpin.

Lalu ia berharap supaya perjuangannya selama ini dilanjutkan para Gusdurian. “Nah, inilah salah satu yang diharapkan. Komunitas Gusdurian, jadilah kekuatan yang memimpin bangsa,” terang Gus Dur.
Mendapat wejangan Gus Dur demikian, Karyo lega.
Kemudian Gus Dur berniat pergi. Sekali lagi ia berpesan, “Harus bersabar. Yang terpenting pesan saya itu tadi pada Lek Karyo.”
“Cuma itu, Gus?” tanya Karyo.
“Ya itu yang saya bisa.”
“Kalau ada, jangan cuma pesan, tapi pesan ngon, Gus…“

Penulis: Abdullah Alawi 
www.nu.or.id

0 komentar:

Posting Komentar